Sikap pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat yang mendesak Para Penambang tanpa ijin (PETI) alias pelaku gelondong untuk menutup aktifitas mereka secara total paling lambat 20 April mendatang, bahkan mengancam akan menutup paksa jika surat edaran pemerintah tidak digubris, akhirnya memicu perlawanan masyarakat, terutama warga yang menggantungkan hidupnya dari aktifitas gelondong di daerah ini. Ditandai dengan aksi demo ratusan warga ke kantor Bupati Sumbawa Barat, Senin (16/4), karena mereka menganggap pemerintah daerah tidak menangkap aspirasi mereka alias masa bodoh dengan nasib mereka.
Beruntung, Bupati Sumbawa Barat segera menanggapinya dengan arif, menunda rencana penutupan paksa PETI, dengan rencana dialog antar semua pihak, baik yang pro maupun yang kontra, guna mencari solusi menyikapi dilema PETI. Bisa dibayangkan, andai Bupati tidak segera menengahi persoalan ini dengan bijak. Besar kemungkinan, bakal terjadi perlawanan berdarah dari warga yang merasa periuk mereka diusik. Tidak bisa pula dinafikan, akibat penundaan ini, cibiran dari aktifis lingkungan dan warga yang merasa dirugikan oleh aktifitas gelondong harus ditelan pemerintah daerah.
Harus diakui, bahwa semua aktifitas tambang tidak terlepas dari penggunaan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, red), yang diketahui berdampak buruk terhadap lingkungan dan ekosistem. Bahkan para pelaku gelondong pun mafhum akan hal ini. Tegoklah, bagaimana perusahaan tambang sekelas PT Newmont Nusa Tenggara, sampai dengan saat ini tetap dipersoalkan terkait pembuangan tailing ke laut oleh para pemerhati lingkungan. Bahkan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat turut serta menuntut Menteri Lingkungan hidup di PTUN Jakarta atas putusannya mengizinkan PTNNT membuang limbah di Teluk Senunu. Toh, Newmont dan Kementrian Lingkungan Hidup tetap ngotot bahwa tailing tersebut aman. Dikuatkan dengan putusan hakim PTUN yang mempetieskan tudingan dan tuntutan semua kalangan atas Tailing Newmont.
Perlawanan PETI ini menjadi menarik untuk dicermati, bukan karena perlawanan David atas Goliat. Atau perlawanan rakyat atas penguasa. Tapi, kegegabahan Pemerintah yang menelurkan kebijakan atau putusan tanpa mendialogkannya terlebih dahulu dengan semua kalangan secara arif dan bijaksana. Kalau lebih ekstrim lagi, bisa dikatakan bahwa tindakan pemerintah daerah melanggar pancasila; kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang notabene Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sikap gegabah pemerintah itulah yang membuat persoalan PETI ini jadi ramai dan tidak kunjung kelar. Pemerintah mencoba memaksakan kehendaknya, namun tidak didasarkan study komprehensif dan solusi dampak putusan. Akibatnya, penyelesaian masalah berujung buntu.
Antipati yang muncul kepada pemerintah menyusul kasus ini, aneh jika juga tidak ditanggapi secara bijaksana. Pemerintah justru menggerogoti kewibawaannya sendiri, padahal seharusnya mereka menjadi pengayom bagi seluruh warga Sumbawa Barat, baik yang Pro maupun yang anti PETI. Secara politik kondisi yang terjadi sungguh tidaklah menguntungkan pemerintah sendiri. Ketika putusan penghentian PETI yang disepakati oleh eksekutif dan legislatif ditunda seperti sekarang ini, siap-siap saja pemerintah menuai kerugian politik.
Ditundanya penghentian PETI, merupakan indikator bahwa pemerintah memang telah salah langkah. Kalau kesalahan seperti ini tidak juga diperbaiki, jangan heran apabila legitimasinya akan tergerogoti. [*]
Komentar
Posting Komentar